Negara Pengelola Perubahan Ekonomi
Oleh: Marissa Haque & Ikang Fawzi (FEB, UGM, 2011)
I. Pilihan Sistem Ekonomi
Dalam   masa tiga dekade akhir-akhir ini, banyak negara di dunia dari level domestik  sampai dengan global mengalami perubahan signifikan 
II. Lapis Perubahan Ekonomi
Beberapa periode dalam perjalanan NKRI sebagai sebuah bangsa dan negara, mengalami perubahan  leadership (style dalam kepemimpinan), termasuk didalamnya masalah economic leadership. Pada masa pemerintahan Orba (orde baru), tidak dapat  dipungkiri bahawasanya praktik monopopi serta oligopoli mendominasi perjalanan perekonomian Indonesia, diduga tanpa mempedulikan: (1) daya saing  ekonomi jadi semakin rendah; (2) akses bagi sebagian besar pelaku ekonomi jadi  tertutup; dan (3) konsumen yang selalu dirugikan karena tak ada kontrol mekanisme  persaingan pasar yang biasanya menguntungkan konsumen dari harga murah serta  inovasi produk yang semakin beragam. Tiga lapis perubahan economic  leadership style yang terjadi di 
(1)   Lapis  Pertama Tingkat Makro
Pada dekade tahun 1980-an, tepatnya pada masa antara tahun  1983-1988, terjadi lompatan perubahan ekonomi ditingkat makro. Yaitu saat  dilakukannya deregulasi pada bidang sektor keuangan. Lalu perkembangan sektor perbankan dan  pasar modal yang langsung terpengaruh dimana menjadi sebuah penanda penting/petunjuk  awal atas dampak dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Output  deregulasi serta liberalisasi yang terjadi disusul oleh sektor riil dan perdagangan berpengaruh langsung serta signifikan  terhadap hidup-matinya seluruh kegiatan perekonomian 
(2)   Lapis Kedua  Tingkat Mezzo
            Desentralisasi pada strata masa tersebut di 
(3)   Lapis  Ketiga Tingkat Mikro
            Dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan              Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan ruang bagi para pelaku ekonomi      mikro—UKM dan   UMKM termasuk BMT (baitul maal wa tamwil/berbasil            syariah non-bank)—menjadi mungkin untuk tumbuh serta berkembang.               Dimana sebelumnya para pelaku ekonomi 
III. Masalah Klasik Kelembagaan
Transformasi dan metamorfosa yang terjadi dalam sistem ekonomi-bisnis-industri tersebut, ternyata sama sekali tidak menyentuh birokrasi dalam sistem pemerintahan Indonesia/seluruh departemen teknis maupun departemen non-portofolio/non-teknis.[2] Yang diduga terlupakan disaat eforia reformasi kemarin digulirkan oleh para pencetusnya,[3] bahwa setiap masa transisi reformasi wajib juga membidik reformasi birokrasi yang ada pada sebuah negara/pemerintahan, baik itu sebagai prinsipal maupun sebagai agennya. Karena pada dasarnya, sebuah jajaran birokrasi dibentuk oleh penguasa negara dimasa pemerintahannya berkuasa. Yang dicirikan memiliki spirit karakter embeded sebagai: (1) pemilik dari kekuasaan; (2) peminta rente; dan (3) penjual regulasi. Sehingga biar sekalipun reformasi gergulir sangat kuat disuatu masa, namun para birokrat dalam jajaran birokrasi pemerintahan tersebut “tetap solid memegang kendali” pemerintahan. Jika sebuah kebijakan baru digulirkan, regulasi biasanya terpenggal ditengah jalan karena kedodoran dalam kelembagaannya.[4] Bila sebuah penelitian dijalankan untuk mengatahui masalah yang timbul, maka unit analisis yang biasa dipakai pemerintah masih ‘sebatas institusinya’/kementrian itu sendiri dan bukan “kebijakan” itu sendiri, sehingga dilapangan tampak nyata bahwa strategi pengelolaan perubahan ekonomi-politik-hukum tidak tidak pernah solid-kreatif namun tetap ‘primitif’ sebagaimana sediakala.
IV. Solusi dari Ikang dan Marissa
Dalam   setiap kebijakan yang dibuat, alangkah baiknya bilamana: (1) diteruskan dengan  SOP (standard operation procedure)/”aturan main” atau rule of law yang rigid/ketat  dari kelembagaan yang berperan sebagai tatakelolanya; (2) pendekatan dari Teori Amitai Etzioni  dapat dipertimbangkan untuk diimplementasikan dalam jagka waktu yang  disepakati[5]; (3) memberlakukan memberlakukan KPI (key performance indicator) bagi penilaian kinerja seluruh PNS tanpa  terkecuali, dan (4) penghargaan didasarkan pada merit based system/jasa keberhasilan kontribusi PNS/birokrat kepada  institusi ditempatnya bekerja.
[1] Denny Indrayana menyatakan dalam bukunya “Indonesia Negara Mafioso” bahwa Indonesia adalah   
bentuk sebuah negara quasi yang berarti neither fish or meat (bukan ikan atau daging)/banci.
[2] Eep Saefullah Fatah (2010) pengamat politik dari FISIP-UI didalam salah satu wawancaranya di Metro
   TV mengatakan bahwa birokrasi Indonesia dimasa Orba (Orde Baru) lalu,  merupakan ‘perpanjangan  
   tangan’  partai politik dari pemerintah berkuasa saat itu didalam administrasi negara. Dimana setiap 
   PNS/Korpri wajib mencontreng untuk Golkar dilam setiap masa Pemilu berlangsung
[3] Ide Otda (Otonomi Daaerah) pertama kali digaungkan oleh Prof.Dr. Ryas Rasyid
[4] Ahmad Erani Yustika adalah Direktur Eksekutif INDEF dan seorang dosen Departemen Ilmu Ekonomi
   Universitas Brawijaya Malang dalam sebuah wawancara di JTV Surabaya September 2010
[5] Amitai Etzioni adalah seorang ekonom dari Amerika Serikat yang meperkenalkan pendekatan  afeksi-renumerasi-coersion/law enforcement
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
