JAKARTA - Tidak mudah memang untuk sungguh-sungguh berjuang bagi perubahan dan kepentingan rakyat. Namun bagi Marissa Haque Fawzy, semua halangan adalah tantangan bagi kesungguhan dan keyakinan akan kebenaran perjuangan. Walau tidak mendapat dukungan dari partainya (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP), baik di pusat maupun di daerah, Marissa tetap berkeras untuk maju dalam pencalonan Gubernur Banten. Persoalan Indonesia, menurut artis dan sutradara ini, adalah sumber daya manusia rendah dan kelaparan di mana-mana. Di samping itu, kemampuan untuk menghadapi bencana alam yang terus-menerus tidak terkoordinasi dengan baik. Early Warning System belum dapat berfungsi dengan baik. “Pemerintah dan kita semua harus sadar bahwa ekosistem Indonesia sangat rentan, karena transisi perbaikan birokrasi dari pusat sampai daerah berjalan lambat. Seharusnya, kita terus konsisten membersihkan birokrasi dari pusat sampai tingkatan desa, bukan hanya berhenti di Jakarta. Hanya dengan demikian pelayanan publik dapat kita tingkatkan. Bencana alam, kemiskinan, kelaparan, penyakit adalah metafora dari para birokrat yang ada. Ini warning dari the almighty,” jelasnya pada SH beberapa waktu lalu.
Perempuan yang lahir di Balikpapan, 15 Oktober 1962 ini, telah merintis karier politiknya sejak menjadi anggota DPR dari PDIP. Sebagai anggota dewan, Marissa ikut mempelopori pembongkaran Dana Abadi Umat (DAU) Departemen Agama yang telah menyeret mantan Menteri Agama, Said Agil Al Munawar, ke meja hijau dan penjara. Marissa juga aktif menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan penolakan impor beras. Dua yang terakhir ini memang tidak berhasil. “Tapi perjuangan tidak boleh berhenti, karena rakyat semakin menderita. Kita tidak boleh kalah dengan keadaan sesulit apapun, karena harapan tetap akan ada dari Allah,” kata ibu dari Bella (18) dan Kiki (17) ini.
Kabarnya, PDIP lebih condong mencalonkan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten Atut Chosiyah dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada) nanti. Marissa tetap yakin bahwa rakyat Banten sangat merindukan perubahan nasib ekonomi dan politik. “Bisa dibayangkan kondisi pendidikan dan kesehatan rakyat Banten yang sangat rendah dibanding provinsi lain, padahal provinsi ini sangat kaya sumber daya alam dan manusianya. Aneh memang kalau partai mencalonkan orang lain, namun itu kenyataan politik di negeri ini,” jelas Marissa. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Pramono Anung ketika dikonfirmasi menjelaskan bahwa saat ini PDIP masih dalam taraf pendaftaran bakal calon secara internal untuk diseleksi dan siapa yang dicalonkan tergantung dari dukungan akar rumput dan struktur partai. “Bagi semua kader yang memenuhi persyaratan dipersilakan ikut dalam proses internal ini, tidak akan ada larangan,” jelas Pramono. Namun sumber SH di PDIP menjelaskan bahwa PDIP tidak akan mendukung pencalonan Marissa menjadi Gubernur Banten. “Sampai saat ini PDIP belum ada calon. Tidak mungkin PDIP mencalonkan Atut,” jelas sumber itu tanpa mau disebut namanya.
Perempuan Tani Bagi Marissa, kekuatan perubahan di Provinsi Banten adalah pemberdayaan masyarakat khususnya wong cilik kaum tani pedesaan. Untuk itu, perempuan tani harus menjadi pelopor dalam pemberantasan buta huruf dan pendidikan di pedesaan. “Kaum perempuan tani sangat rajin bekerja, mereka tidak mencuri atau pergi melacur, walau miskin dan menanti kematian. Aku sampai speechless. Kita harus membuat perempuan desa cerdas dan menjadikan seluruh rakyat gemar membaca agar dunia berada dalam genggaman. Hanya rakyat Banten yang dapat menyelamatkan masa depan provinsi ini. Seperti dalam Al-Qur’an, jadilah burung ababil yang menghancurkan pasukan gajah yang mengancam Makkah,” jelasnya. Menurutnya, pembangunan di Banten jangan sampai menghancurkan lingkungan hidup. Justru ibu rumah tangga harus menjadi pelopor untuk mengumpulkan sampah, memilah, dan mengolahnya menjadi pupuk. “Kita sedang menyiapkan kerja sama dengan IPB untuk pengolahan sampah yang diekstrak untuk menjawab kelangkaan pupuk bagi pertanian. Sampah nonorganik dapat didaur ulang oleh industri besar. Ini juga akan membantu mengatasi ketidakseimbangan ekosistem yang mendatangkan penyakit. Jangan lagi Banten dikenal sebagai daerah busung lapar dan penuh polio yang identik dengan kemiskinan,” lanjut lulusan S3 Lingkungan Hidup IPB yang disertasinya tentang Zero Waste Philosophy ini.
Bersama usaha kecil menengah (UKM) dan kaum tani, Marissa berharap dapat membangun kembali ekonomi rakyat yang nantinya berbasis koperasi. Untuk para pengusaha, pemerintah seharusnya tidak memperberat dengan pajak, apalagi Banten terkenal dengan setoran di muka 30% kepada preman. “Untuk itu, hukum harus ditegakkan dengan menggunting pembodohan pada rakyat, dan mengaktifkan rakyat dalam berpolitik. Rakyat yang selama ini tinggal dalam pembodohan dan ketakutan harus bangkit karena semua ini demi masa depan Banten yang lebih baik. Bisa dibayangkan, sebuah provinsi yang bertetangga dengan Jakarta dengan pusat industri seperti Tangerang, tetapi rakyatnya tinggal dalam kegelapan. Itulah Banten!” katanya.
Senada dengan Marissa, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Tirtayasa, Banten, Maruli Hendra Utama menjelaskan Banten seharusnya berperan penting sebagai penyangga ibu kota. Untuk itu dibutuhkan seorang pimpinan yang benar-benar dapat mengelola Banten, selama ini belum ada kemajuan signifikan di Banten. Sebagian besar industri di Banten tidak memberikan kontribusi bagi daerah-daerah nonindustri, korupsi merajalela, premanisme tinggi karena hukum tidak dipatuhi. “Dibutuhkan seseorang yang dapat merasakan penderitaan rakyat, yang mempu mengajak mereka untuk keluar dari kegelapan panjang,” jelasnya kepada SH.Kemiskinan di Banten, menurutnya, mendekati 80% dari total penduduk. Pada tahun 2006, Banten memperoleh anggaran sebesar Rp 5,2 triliun atau naik 46% dibanding 2005, yang terdistribusi untuk kantor daerah 27,25 persen, tugas perbantuan 3,52%, dekonsentrasi 15,4%, dana alokasi umum (DAU) 51,92%, serta DIPA dana alokasi khusus nondana reboisasi 1,91%. “Kalau pucuk pimpinan Banten tidak mampu memberantas korupsi, semua dana di atas akan tenggelam lagi ke kantong pribadi dan Banten semakin gelap. Pilkada seharusnya menjadi gerbang perubahan bagi nasib rakyat Banten,” kata Maruli.
Copyright © Sinar Harapan 2005