(Dugaan) Konspirasi Dibalik SP3 Kasus Illegal logging di Riau
Selasa, 30 Desember 2008
Pernyataan PersPanggil Kapolda dan Jerat Pelaku Illegal dengan UU KorupsiDikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus illegal logging yang dilakukan oleh 13 perusahaan kayu di Riau oleh Kepolisian Daerah Riau merupakan preseden buruk di akhir tahun terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan pemberantasan illegal logging yang dikampanyekan oleh pemerintah. Patut diduga kuat adanya konspirasi di balik keluarnya SP3 tersebut.
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Sejak awal telah mencium adanya indikasi kuat aparat penegak hukum (kepolisian dan jaksa penuntut umum) yang hendak membebaskan 13 perusahaan dengan berdalih tidak adanya cukup bukti dan hanya berdasarkan keterangan saksi ahli dari pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan).
Kami memandang bahwa pihak penyidik telah mengabaikan dan tidak dijadikannya pertimbangan keterangan saksi ahli dari akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menyatakan ada kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan perijinan, yang menguatkan temuan-temuan WALHI sebelumnya.
Sementara itu, ada Keputusan Menteri Kehutanan No. 541/2002 dan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 yang telah meniadakan kewenangan para gubernur dan bupati untuk mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Hasil analisis yang dilakukan WALHI Riau, terdapat 34 IUPHHK di Riau dengan luas total 378.299,50 hektar yang dikeluarkan setelah izin tersebut berlaku. Ini berarti telah terjadi pelanggaran peraturan.
Sedangkan bila dilihat dari kriteria lahan, seharusnya lahan yang diperbolehkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah lahan kosong, padang alang-alang maupun semak belukar bukan pada lahan hutan alam dengan potensi kayu dibawah 5 meter kubik setiap hektar.
Namun kenyataannya, WALHI menemukan sebanyak 34 IUPHHK-HT tersebut diberikan di atas hutan alam. Ini menunjukan telah bahwa perizinan yang telah dikeluarkan bupati diduga melakukan tindakan melawan hukum administrasi. Kebijakan yang mengatur tentang kriteria lahan yang boleh untuk HTI terbunyi jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 7/1990 Pasal 5 ayat 1-2, PP No. 34/2002 Pasal 30 ayat 3, Keputusan Menteri Kehutanan No 21/Kpts-II/2001, dan Keputusan Menteri Kehutanan No 10.1/Kpts-II/2000 Pasal 3 ayat 1-7.
Sebanyak 13 perusahaan itu merupakan penyuplai bahan baku PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), seperti: PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana, PT Rimba Mandau Lestari, PT Ruas Utama Jaya. Sedangkan lainnya merupakan penyuplai bahan baku PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), seperti: PT Madukoro, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Nusa Prima Manunggal, PT Bukit Batubuh Sei Indah, PT Citra Sumber Sejahtera, dan PT Mitra Kembang Selaras.
Penegakan hukum lingkungan merupakan harapan terhadap perbaikan kondisi ekologis Indonesia yang semakin kerap mengalami bencana ekologis. Pemerintah harus tegas dalam upaya tersebut, dan bukan semata hanya di atas kertas dengan begitu banyaknya peraturan dan kerjasama yang dilakukan dengan negara lain dalam hal pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu haram. Indonesia akan semakin cepat hilang dari peradaban bila tidak dilakukan upaya penyelamatan kawasan hutan dengan melakukan jeda penebangan hutan (moratorium logging).
Pemberian SP3 adalah bukti bahwa negara sedang memimpin percepatan perusakan hutan lewat kebijakan legal logging, Hutan Tanaman Industri dan penegakan hukum yang lemah. Negara juga telah menjadikan peradilan dan proses hukum sebagai rumah aman bagi para penjahat lingkungan.
***
Alasan tidak ditemukannya Unsur Melawan Hukum dan keterangan "Saksi ahli" yang digunakan sebagai dasar SP3 dinilai mengada-ada dan tidak berdasar. Selain Kepolisian, Kejaksaan Tinggi Propinsi Riau pun terkesan ikut dalam "persekongkolan" menghentikan kasus yang diduga melibatkan dua perusahaan besar Pulp and Paper Indonesia tersebut. Setidaknya, telah 17 kali berkas penyidikan bolak-balik dari Polisi ke Kejaksaan.
Apakah hal ini terkait dengan kuatnya posisi PT. RAPP dan Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP)? Sulit mengatakan, tidak ada intervensi dibalik penghentian penyidikan tersebut.
SP3 ini tentu saja merupakan bagian dari buruknya penegakan hukum pemberantasan illegal logging. Kasus yang awalnya mencuat dengan adanya penangkapan, penyitaan dan penetapan tersangka, di Kepolisian dan Kejaksaan seringkali berakhir dengan SP3, dan bahkan di Pengadilan banyak yang berujung dengan Vonis BEBAS. Kalaupun sebagian pelaku dihukum, biasanya hanya menjerat operator lapangan. Dengan kata lain, Pelaku Utama dan Mastermind hampir tak tersentuh.
Berdasarkan catatan dan analisis ICW terhadap putusan kasus Illegal Logging selama tahun 2005-2008, misalnya. Dari 205 terdakwa yang terpantau dan muncul ke permukaan, sekitar 66,83% diantaranya divonis bebas, atau 137 orang; Vonis dibawah 1 tahun dijatuhkan terhadap 44 orang (21,46); vonis 1-2 tahun terhadap 14 orang (6,83%), dan diatas 2 tahun sebanyak 10 orang (4,88%).
Hal itu akan terjawab ketika sejumlah tersangka dipilah berdasarkan kualifikasi level aktor. Ada dua poin yang dapat dibaca dari pengklasifikasian ini, yaitu:
1. Dari 205 tersangka, yang dapat dikategorikan aktor kelas
-----------------
Jakarta, 26 Desember 2008
ICW / WALHI I TELAPAK / Institute Indonesia Hijau
Pernyataan PersPanggil Kapolda dan Jerat Pelaku Illegal dengan UU KorupsiDikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus illegal logging yang dilakukan oleh 13 perusahaan kayu di Riau oleh Kepolisian Daerah Riau merupakan preseden buruk di akhir tahun terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan pemberantasan illegal logging yang dikampanyekan oleh pemerintah. Patut diduga kuat adanya konspirasi di balik keluarnya SP3 tersebut.
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Sejak awal telah mencium adanya indikasi kuat aparat penegak hukum (kepolisian dan jaksa penuntut umum) yang hendak membebaskan 13 perusahaan dengan berdalih tidak adanya cukup bukti dan hanya berdasarkan keterangan saksi ahli dari pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan).
Kami memandang bahwa pihak penyidik telah mengabaikan dan tidak dijadikannya pertimbangan keterangan saksi ahli dari akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menyatakan ada kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan perijinan, yang menguatkan temuan-temuan WALHI sebelumnya.
Sementara itu, ada Keputusan Menteri Kehutanan No. 541/2002 dan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 yang telah meniadakan kewenangan para gubernur dan bupati untuk mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Hasil analisis yang dilakukan WALHI Riau, terdapat 34 IUPHHK di Riau dengan luas total 378.299,50 hektar yang dikeluarkan setelah izin tersebut berlaku. Ini berarti telah terjadi pelanggaran peraturan.
Sedangkan bila dilihat dari kriteria lahan, seharusnya lahan yang diperbolehkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah lahan kosong, padang alang-alang maupun semak belukar bukan pada lahan hutan alam dengan potensi kayu dibawah 5 meter kubik setiap hektar.
Namun kenyataannya, WALHI menemukan sebanyak 34 IUPHHK-HT tersebut diberikan di atas hutan alam. Ini menunjukan telah bahwa perizinan yang telah dikeluarkan bupati diduga melakukan tindakan melawan hukum administrasi. Kebijakan yang mengatur tentang kriteria lahan yang boleh untuk HTI terbunyi jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 7/1990 Pasal 5 ayat 1-2, PP No. 34/2002 Pasal 30 ayat 3, Keputusan Menteri Kehutanan No 21/Kpts-II/2001, dan Keputusan Menteri Kehutanan No 10.1/Kpts-II/2000 Pasal 3 ayat 1-7.
Sebanyak 13 perusahaan itu merupakan penyuplai bahan baku PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), seperti: PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana, PT Rimba Mandau Lestari, PT Ruas Utama Jaya. Sedangkan lainnya merupakan penyuplai bahan baku PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), seperti: PT Madukoro, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Nusa Prima Manunggal, PT Bukit Batubuh Sei Indah, PT Citra Sumber Sejahtera, dan PT Mitra Kembang Selaras.
Penegakan hukum lingkungan merupakan harapan terhadap perbaikan kondisi ekologis Indonesia yang semakin kerap mengalami bencana ekologis. Pemerintah harus tegas dalam upaya tersebut, dan bukan semata hanya di atas kertas dengan begitu banyaknya peraturan dan kerjasama yang dilakukan dengan negara lain dalam hal pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu haram. Indonesia akan semakin cepat hilang dari peradaban bila tidak dilakukan upaya penyelamatan kawasan hutan dengan melakukan jeda penebangan hutan (moratorium logging).
Pemberian SP3 adalah bukti bahwa negara sedang memimpin percepatan perusakan hutan lewat kebijakan legal logging, Hutan Tanaman Industri dan penegakan hukum yang lemah. Negara juga telah menjadikan peradilan dan proses hukum sebagai rumah aman bagi para penjahat lingkungan.
***
Alasan tidak ditemukannya Unsur Melawan Hukum dan keterangan "Saksi ahli" yang digunakan sebagai dasar SP3 dinilai mengada-ada dan tidak berdasar. Selain Kepolisian, Kejaksaan Tinggi Propinsi Riau pun terkesan ikut dalam "persekongkolan" menghentikan kasus yang diduga melibatkan dua perusahaan besar Pulp and Paper Indonesia tersebut. Setidaknya, telah 17 kali berkas penyidikan bolak-balik dari Polisi ke Kejaksaan.
Apakah hal ini terkait dengan kuatnya posisi PT. RAPP dan Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP)? Sulit mengatakan, tidak ada intervensi dibalik penghentian penyidikan tersebut.
SP3 ini tentu saja merupakan bagian dari buruknya penegakan hukum pemberantasan illegal logging. Kasus yang awalnya mencuat dengan adanya penangkapan, penyitaan dan penetapan tersangka, di Kepolisian dan Kejaksaan seringkali berakhir dengan SP3, dan bahkan di Pengadilan banyak yang berujung dengan Vonis BEBAS. Kalaupun sebagian pelaku dihukum, biasanya hanya menjerat operator lapangan. Dengan kata lain, Pelaku Utama dan Mastermind hampir tak tersentuh.
Berdasarkan catatan dan analisis ICW terhadap putusan kasus Illegal Logging selama tahun 2005-2008, misalnya. Dari 205 terdakwa yang terpantau dan muncul ke permukaan, sekitar 66,83% diantaranya divonis bebas, atau 137 orang; Vonis dibawah 1 tahun dijatuhkan terhadap 44 orang (21,46); vonis 1-2 tahun terhadap 14 orang (6,83%), dan diatas 2 tahun sebanyak 10 orang (4,88%).
Hal itu akan terjawab ketika sejumlah tersangka dipilah berdasarkan kualifikasi level aktor. Ada dua poin yang dapat dibaca dari pengklasifikasian ini, yaitu:
1. Dari 205 tersangka, yang dapat dikategorikan aktor kelas
menengah keatas (middle upper level) hanya 49 orang (23,90%).
Klasifikasi Aktor Pemberantasan Illegal Logging tahun 2005-2008
Klasifikasi Aktor Pemberantasan Illegal Logging tahun 2005-2008
-----------------
Jakarta, 26 Desember 2008
ICW / WALHI I TELAPAK / Institute Indonesia Hijau
Febri Diansyah (ICW) Hp 0819 7575 404
Teguh (WALHI) Hp 0813 7189 4452
Unang (Telapak) Hp 081328841307